Tak terasa sudah hampir tiga tahun di tanah perantauan, berkutat dengan jadwal dan tuntutan kehidupan yg seakan menghimpit dada. Teringat akan masa lalu dimana hari esok seakan tak akan pernah datang, menikmati hari ini sepuasnya tanpa beban, bersamamu teman.
Nostalgia dimulai ketika aku membuka akun facebook, dimana ternyata kita sudah tak terhubung lagi dalam suatu istilah yg disebut "pertemanan". Putaran balik memori yang tak mutlak indah mengingatkanku, begitu banyak yang terjadi di belakang, saat diri kita masih labil dan belum mampu mengambil fakta dalam setiap kutipan kisah.
Maafkan aku, aku tahu pasti saat ini karena aku telah menyadarinya. Kita sama-sama bukan manusia dewasa, dulu dan mungkin sekarang. Tapi aku yakin satu hal, memori kita bersama disaat itu telah membantu kita menjadi manusia yang mampu berpikir dengan jelas.
Aku tidak terkejut, karena akulah yang mengakhiri pertemanan itu. Bahkan sampai sekarangpun, aku juga belum pasti tentang penyebabnya. Kekecewaan atas sikap terhadap diri masing-masing, dan kepercayaan yang luntur akibat hal yang terjadi dan kata yang terucap, meruntuhkan dinding pertemanan yang sama-sama kita bangun sejak pertama kita bertemu. Aku tidak tahu teman, bagaimana perasaanmu saat ini terhadapku. Pun aku aku juga belum pasti, apakah kekecewaan itu masih larut dalam dadaku dan pangkatmu sebagai musuh di hatiku masih bertahan.
Teman, kenapa itu semua terjadi? Aku sadar, aku naif. Tapi bukankah percaya itu mutlak? Kenapa kau menghancurkannya? Apa kau mau balik bertanya, kenapa aku tidak menjaganya?
Teman, apa kau dengannya baik-baik saja? Aku tahu mungkin aku tak berhak lagi, tapi tahukah kau? Dalam rasa benci yang masih tertambat sempurna di hatiku, aku juga heran kenapa aku sedih ketika melihat kau terluka. Air mata ini bahkan tak mau menetes saking sakitnya rasa itu.
Teman, maafkan aku karena aku tak bisa menahan rasa spesial terhadapmu kala itu. Cinta membutakan ya? Ketika kau temukan dua sahabat yang kau percaya dan kau hargai menyukai pria yang sama denganmu dan berusaha menusukmu dari belakang saat kau tidak sadar... aku tak mengerti, kenapa siklus ini berpartisipasi dalam hidup kita...
Teman, masih ingatkah kau ketika pertama kali kau duduk di sebelahku dan bercakap tentang hobi kita yang luar biasa? Bahkan ketika aku telah jauh dengan rasa benciku, aku tak mampu menyingkirkan rasa bahagia bercampur sakit hati ketika aku melakukan hobi itu lagi. Melakukannya membawa kembali ingatan tentang kita, sembari mengiris dadaku.
Aku tak pernah berharap kau membaca ini, tidak pernah. Aku bahkan mengira-ngira, apa mungkin kau masih mengingatku?, aku harap ia dan tidak.
Mungkin memori ini, yang berusaha aku hapus sekaligus terus ku ingat, tak menghantui hidupku lagi. Jangan menertawakanku, akupun tak tahu kenapa benakku memaksa ini.
Teman, tahukah kau kenapa aku menceritakan ini?
Pikiranku bahkan dalam mimpipun terus terbaur tentang kenangan kita, saat kau mulai menggantikan tempatnya di hatiku. Aku merasa kau begitu sedih saat ini, atau mungkin itu hanya firasatku saja. Oh ya, kenapa ya dia harus pergi ke sisi Tuhan begitu cepat?
Mungkin jika boleh berandai, ini semua takkan seburuk ini. Aku masih dengannya, dan kau bahagia dengan mantan sahabatku yang kau sukai bahakan sebelum kita bertemu.
Teman..oh, maaf, kau adalah musuhku! (apa sebutan itu cocok untukmu?)
Dia, aku, kau, dia dan dia, bagaimana keadaan kita saat ini jika saat itu kita tak pernah bertemu?
Saat ini, 6 tahun sejak saat itu, aku berada jauh dari kalian semua. Jika aku tetap berada di kota kita, apa yang akan terjadi?
Hanya jika semua itu tak pernah terjadi, akankan kita masih berteman?
Setiap hari yang kuhabiskan di kota baru ini, dimana tak ada satupun yang kukenal saat pertama kali datang, penuh dengan jadwal yang memang menyesakkan dada dan membuat sulit bernapas. Namun itu bukan tanpa arti, ada alasan sejati di balik itu semua. Kau tahu? Jika aku tidak memenuhi porsi itu, rasa benci dan bersalah akan lebih membunuhku.
Apa salahku sehingga ingatan ini terus menghantuiku? Bahkan di kota ini, aku sangat sulit untuk percaya dengan orang. Kau tentu ingatkan, dulunya aku sangat ramah dan mudah berteman?
Hahaha, mungkin hal itu tak akan pernah terucap dari orang-orang disini ketika kau tanyakan mereka tentang aku. Aku, yang awalnya ingin hidup baru yang lebih baik disini, tanpa bayangan keluargaku ikut menghantui, malah menghancurkannya sendiri.
Karma mungkin?
No comments:
Post a Comment